Ciao bella! Bagaimana kabarnya Sobat Gensoed? Mimin harap Sobat selalu dalam keadaan yang sehat, ya. Mimin kembali lagi dengan karya-karya Sobat Gensoed yang amazing, nih. Sudah tidak sabar? Yuk, kita lihat rangkaian-rangkaian kata indah tersebut!
Tabir Lara
Mimik mana yang tak renta jika lara menganga dengan lebarnya?
Netra mana yang tak buta bila nabastala menghitam tanpa rembulan?
Langkah mana yang tak sempoyongan bila arah tak berpedoman?
Miris tapi engkau membaca aksara ini bukan?
Bagaimana bisa? Bilur lara menghitam legam di sekujur gadis itu?
Bersautan dengan elegi pada tangan yang ia genggam.
Mengais sosok faktitius penebar lara di sudut katup jantung.
Melumat kerangka film kuno yang mengisi memoar usang.
Mengasihi tabir lara yang merekah.
Dibuainya hal paling bisu saat lara menyapa.
Mengadah ampun namun gundah gelisah hati yang didapat.
Berbisik lirih agar nanah pesakitan itu tak menjalar.
Mengayuh di sepertiga malam, lebih tepatnya pukul 02.06.
Menyisipkan bualan lara pada saku kemeja lusuh itu.
Menyengaja jatuh hati kepada daksa yang enggan dimasuki.
Berakhir tumpang tindih di antara halaman terakhir.
Jenis Karya: Puisi
Nama: Auria Pratiwi Yuniarti
Nomor Induk Mahasiswa (NIM): H1B024009
Fakultas/Program Studi: Fakultas Teknik (FT)/Teknik Sipil
Judul Karya: Tabir Lara
Makna Karya: Tabir Lara menyingkap kedalaman penderitaan batin tokoh aku yang tersembunyi di balik tampilan luar yang mungkin tampak baik-baik saja. Ia mempertanyakan siapa yang tidak akan rapuh ketika luka begitu lebar terbuka, siapa yang tidak akan goyah ketika dunia menggelap tanpa cahaya rembulan. Luka itu bukan sekadar kesedihan; ia menjalar, menempel, dan menghitamkan seluruh tubuh batin. “Aku” menyaksikan seseorang atau mungkin dirinya sendiri berjuang menghadapi trauma yang menimbulkan elegi panjang. Di waktu-waktu paling sunyi, pukul “02.06”, “aku” memeluk lukanya sambil berharap ia menghilang, tetapi yang datang justru kegundahan baru. Puisi ini adalah perjalanan menyusuri lorong luka yang tidak mau sembuh, menyingkap bagaimana “aku” berusaha tetap hidup meskipun setiap langkah terasa menabrak halaman terakhir yang penuh kepiluan
Manifestasi Semesta
Cakrawala menghamburkan kalibrasi warna seusai baskara sirna
Menyeruak pada titik obsidian yang afsun.
Anila yang melenggang demi asmaraloka di pesisir buana.
Seperti sebuah romansa legenda yang begitu legit antara bentala dan bumantara.
Membelai tiap sorot netra yang menitipkan harsa kepada isak semesta.
Membual pada tiap konsonan sendu yang dihibahkan untuk sang buana.
Selepas itu pula, senja mengasihi setiap sudut pada rusuk swastamita.
Membiarkannya mendulang efameral saat sandyakala tiba.
Setiap permata allokromatik maupun idiokromatik itu kirana adanya.
Kemudian menyisipkan lakuna pada luasnya hamparan nabastala.
Sehingga tak jemu atma ini bersorak kagum pada semesta dengan skala besar.
Lalu, bagaimana dengan semesta berskala kecil?
Semesta itu menjelma menjadi kilas balik dengan tajuk “dia”.
Tentu, kamu adalah manifestasi semesta berskala kecil.
Sedikitnya itu jatuh kepada netra laki-laki bersahaja ini.
Selebihnya, hanya lakuna lara yang tak bertepi.
Jenis Karya: Puisi
Nama: Auria Pratiwi Yuniarti
Nomor Induk Mahasiswa (NIM): H1B024009
Fakultas/Program Studi: Fakultas Teknik (FT)/Teknik Sipil
Judul Karya: Manifestasi Semesta
Makna Karya: Dalam Manifestasi Semesta, tokoh aku mengagumi keindahan alam raya dengan pencerapan yang puitis dan tajam: cahaya, warna, langit, senja, hingga kilau nabastala. Namun, semua kemegahan itu ternyata hanya jalan menuju satu hal seseorang yang menjadi “semesta berskala kecil”. “Aku” melihat keindahan yang tak terhingga dalam diri orang itu, seolah seluruh semesta hanya sedang memantul melalui sosoknya. Tetapi, kekaguman itu tidak sepenuhnya manis; ia menyimpan luka yang perlahan mengendap, disebut sebagai “lakuna lara”. Di sini, cinta menjadi ruang kosmik tempat keindahan dan kepedihan saling bertautan
Metamorfosa
Bagaimana agaknya kita bermetamorfosis?
Hibernasi dengan eonia yang mencumbui daksa.
Merapal legenda kuno sebagai untaian dongeng yang terberai.
Terbangun, mematahkan diri di ujung harsa.
Kemudian, kemana rupanya pemilik serbuk sari itu?
Aku belum tumbuh bahkan mekar.
Tapi, sudah diambil oleh tangan kotor pemilik serbuk sari.
Dan pada akhirnya mati sia-sia.
Kepada bumantara nan elok rupawan.
Tak payah memaksakan anila menyejukkan hati bentala.
Bentala yang bermetamorfosa semenjak aurora melumat tiap-tiap bentala.
Kau sudah nirmala, hanya dengan senja yang bentala miliki.
Lalu bagaimana dengan metamorfosa kita?
Seperti lembayung renjana yang menderu adorsi.
Saling memvalidasi namun tersungkur kepada bibir takdir.
Belum sempat merapal doa, sebab kita hanyalah seonggok dusta.
Jenis Karya: Puisi
Nama: Auria Pratiwi Yuniarti
Nomor Induk Mahasiswa (NIM): H1B024009
Fakultas/Program Studi: Fakultas Teknik (FT — Teknik Sipil
Judul Karya: Metamorfosa
Makna Karya: Dalam Metamorfosa, tokoh aku digambarkan berada dalam proses perubahan diri yang tidak mulus, sebuah metamorfosis yang justru dimulai dari perampasan, bukan kelahiran. “Aku” belum sempat tumbuh, belum sempat mekar, tetapi sudah direnggut dan disakiti oleh seseorang yang mengambil “serbuk sarinya” secara paksa. Metafora ini menggambarkan pengalaman pahit: potensi diri atau cinta yang seharusnya berkembang, justru dimatikan sebelum waktunya. Di tengah itu semua, alam, bentala, aurora, bumantara mengalami metamorfosisnya sendiri, tetapi perubahan besar dunia justru membuat “aku” semakin tampak kecil dan tak berdaya di hadapan takdir. Pada akhirnya, puisi ini adalah ratapan tentang pertumbuhan yang gagal, cinta yang tidak sempat jadi, serta metamorfosis dua jiwa yang terhenti sebelum mencapai bentuknya yang utuh
Beautiful, incredible, fantastic! Mimin jadi ingin menulis puisi juga, nih. Jangan-jangan Sobat juga mau? Hihi. Jangan pernah berhenti berkaya ya, Sob! Sampai jumpa di Ruang Karsa selanjutnya~