
BEM Unsoed – Senin (16/8), telah dilaksanakan diskusi daring yang diadakan oleh Kementerian Analisis Isu Strategis BEM Unsoed dengan tema “Leaving No One Behind: Masyarakat Adat Membutuhkan Tempat dan Pengakuan oleh Negara”. Menghadirkan pembicara, Seniman selaku tokoh masyarakat Urutsewu, Widodo Sunu dari Tim Advokasi Perjuangan Urutsewu Kebumen (TAPUK), dan Budi Baskoro dari Aliansi Mahasiswa Adat Nusantara (AMAN).
Diskusi diawali dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh Seniman, mengenai sejarah kepemilikan tanah di Urutsewu, Kebumen dari tahun 1830. Menggunakan penataan tanah “Galur Larak” yaitu dengan membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut selatan, pada tahun 1965 – 1969 dilakukan pendaftaran/sertifikasi tanah rakyat secara masal di Dirjen Agraria sehingga masyarakat memiliki bukti perjanjian jual beli yang ditanda tangani oleh asisten wedono dan kepala desa.
Mulai tahun 1982, TNI meminjam tempat untuk latihan dengan adanya surat “pinjam tempat ketika latihan” dan tahun 1998 TNI mulai melakukan pemetaan tanah hingga pada tahun 2007 TNI mengklaim kepemilikan tanah lebih luas lagi. Bukan hanya dijadikan tempat latihan oleh TNI saja, pemerintah juga memberikan izin eksplorasi pasir besi kepada perusahaan tambang. Konflik ini mencapai puncaknya pada tahun 2020, ketika adanya tindakan represif yang dilakukan TNI kepada masyaraat Urutsewu.

(Sumber : Kementerian Analisis Isu Strategis)
Diskusi dilanjutkan oleh Widodo Sunu, yang kembali mempertegas alur permasalahan yang terjadi di Urutsewu. Sebelum konflik tahun 2020, pada tahun 2011 juga terjadi konflik yang cukup besar sehingga membuat Komnas HAM turun tangan dan membuat keputusan bahwa TNI tidak boleh latihan di sana. Klaim TNI akan tanah warga Urutsewu juga dikuatkan dengan membangun pagar tetapi ditolak oleh masyarakat. TNI juga melakukan sertifikasi terkait hak pakai, dan pemerintah mendukung klaim tersebut, BPN juga dinilai makukan kesalahan prosedur pengukuran karena tidak adanya tetangga batas wilayah yang harus mengikuti dan menentukan batas ukuran wilayah dan bukan hanya berdasarkan klaim pemetaan satu pihak saja.
Para pemilik tanah yang sudah memiliki sertifikat atas hak milik mengadukan ini ke pemerintahan daerah Semarang tetapi tidak adanya tindakan resmi akan penyerobotan lahan tersebut. Sudah dilakukan beberapa cara penyelesaian, dimulai dari aksi masa, audiensi, melaporkan kepada gubernur, hingga presiden tapi tidak ada yang membuahkan hasil.
Harapan masyarakat hanya menginginkan penyelesaian masalah sesuai dengan hukum yang berlaku, dan pemerintah dapat membuat kajian ilmiah untuk permasalahan Urutsewu serta militerisme yang segera dihapuskan.

(Sumber : Kementerian Analisis Isu Strategis)
Pemaparan terakhir disampaikan oleh Budi Baskoro, yang bukan hanya membahas terkait permasalah Urutsewu, melainkan juga turut membahas terkait bagaimana sulitnya mendapatkan status dan hak menjadi masyarakat adat. Budi menjelaskan terkait budaya yang dimiliki masyarakat adat secara turun temurun seharusnya dilindungi dan dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataannya RUU Masyarakat Adat masih belum disahkan dan hanya ada di UU yang bersifat sektoral. Pada tahun 2012 MK mengabulkan yudisial review bahwa hutan adat yang semulanya merupakan hutan negara yang berwilayah di adat kini telah diubah bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara. Namun, luas perhutanan yang dimiliki masyarakat adat sangat kecil. Sulitnya mendapat pengakuan menjadi masyarakat adat membuat mereka juga sulit mendapat hak untuk menjaga dan melindungi wilayahnya serta budayanya.
Budi Baskoro juga mengatakan bahwa seharusnya pemerintah melakukan perampingan mekanisme untuk pengakuan masyarakat adat dan tidak bertele-tele dalam proses pengakuan masyarakat adat.
Diskusi ini dimaksudkan untuk memperingati Hari Masyarakat Adat pada setiap 9 Agustus, dengan tujuan agar kita terus mengingat bahwa masyarakat adat membutuhkan hak dan pengakuannya. Budaya dan wilayah yang diwariskan secara turun-temurun yang telah masyarakat adat lindungi harus dijaga oleh negara. Wilayah untuk masyarakat adat segera harus ditetapkan sehingga tidak diekploitasi untuk kepentingan yang akan merugikan masyarakat adat itu sendiri, tidak sedikit kasus masyarakat adat yang lahannya dirampas lalu dialihfungsikan tetapi tidak ada pembelaan yang diberikan oleh negara. Negara lebih condong ke pemegang Investasi dan melakukan pengabaian kepada perjuangan masyarakat adat, sehingga di sinilah kita harus terus mendesak pemerintah bahwa masyarakat adat butuh hak dan pengakuannya.
Penulis : Kementerian Analisis Isu Strategis
Editor : Ardi Eka