Oleh: Kementerian Analisis Isu Strategis

Bentuk Omnibus Law dalam UU Kesehatan

(Sumber: beritasatu.com)

Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan merupakan produk hukum yang diusulkan dan disiapkan oleh DPR yang akan mencabut serta menggantikan beberapa undang-undang Kesehatan di Indonesia. Rancangan undang-undang ini akan menggunakan metode yang sama dengan RUU Cipta Kerja yang juga bermasalah, yaitu metode Omnibus Law.

Metode Omnibus Law merupakan suatu metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang bisa mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara singkat, Omnibus Law adalah satu aturan yang meringkas banyak aturan yang ada. Omnibus Law banyak dipermasalahkan karena tujuan untuk meringkas aturan justru malah banyak menghilangkan aturan-aturan yang penting dan tidak seharusnya dihilangkan.

UU Omnibus Law Kesehatan diusulkan sejak 2019 dan disiapkan oleh DPR, tetapi baru dimulai pada akhir tahun 2022. RUU Omnibus Law Kesehatan menjadi inisiatif DPR dan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2023 pada tanggal 14 Februari 2023. Lalu pada tanggal 7 Maret 2023, draf RUU disampaikan dari DPR kepada Presiden.

UU Kesehatan bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap regulasi kesehatan yang saat ini masih terbagi dalam beberapa undang-undang yang berbeda. Pro dan kontra terkait wacana ini terus bergulir, terutama penolakan dari kalangan profesi kesehatan. Hal ini karena dinilai tidak adil dan masih banyak masalah.

Merespon paparan dari dr. Mahesa, dr. Haryo menjelaskan bahwa UU Kesehatan menurut WHO adalah keputusan, perencanaan, maupun aktivitas yang dikembangkan oleh suatu institusi dan/atau organisasi, dengan maksud untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. “Karakteristik dari UU ini adalah keputusan yang diambil dapat didasari oleh suatu proses empiris dan/atau pertimbangan politis, serta bergantung pada intensi pengambil keputusan, ketersediaan sumber daya, dan funders,” jelasnya.

Apa Saja Pasal yang Bermasalah?

(Sumber: Timesindonesia.co.id)
  • Kontroversi Penyetaraan Tembakau dan Narkotika : Pasal 154 ayat (3)

Pasal kontroversi UU Kesehatan yang pertama adalah terkait tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dimasukkan satu kelompok zat adiktif. Berikut isi lengkap pasalnya: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.”

Penempatan tembakau sebagai produk yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lainnya tentunya dapat menimbulkan kontroversi aturan mengenai pengekangan tembakau. Hal tersebut dapat merugikan banyak pihak dalam industri tembakau apalagi industri tembakau sangat berpengaruh bagi negara ini.

  • Pasal 183 : Ketidaksesuaian Penambahan Sistem Pendidikan Kedokteran

“Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar Rumah Sakit pendidikan.” Lebih lanjut pada Pasal 183 ayat (3), dipertegas bahwa, “Untuk dapat menyelenggarakan secara mandiri pendidikan profesi dokter/dokter gigi spesialis dan dokter/dokter gigi subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b), Rumah Sakit Pendidikan telah menjadi bagian dari Sistem Pendidikan Akademik paling sedikit 5 (lima) tahun sebagai Rumah Sakit Pendidikan Utama”.

Penggunaan pendidikan berbasis rumah sakit (hospital-based) dalam program sistem pendidikan kedokteran spesialis dan subspesialis di mana penggunaan itu akan menambahkan system pendidikan berbasis universitas (university-based) yang sudah digunakan sebelumnya. Penambahan pendidikan spesialis dan subspesialis dalam pendidikan berbasis rumah sakit (hospital-based) tersebut mendapatkan tanggapan kontra dalam hal kualitas dokter yang akan dihasilkan karena adanya ketidakseimbangan dalam fasilitas yang termasuk peralatan medis ataupun tenaga pengajarnya. Kurang meratanya persebaran dokter spesialis dan subspesialis di Indonesia memberikan dampak akan kulitas dokter yang dihasilkan dari penggunaan pendidikan berbasis rumah sakit (hospital-based) tersebut.

  • Pasal Penyempitan Hak Tenaga Kesehatan : Pasal 187 dan Pasal 462.

Pada pasal 187 ayat (2) UU Kesehatan tercantum bahwa rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas penyelamatan nyawa manusia, tetapi tenaga medis dan kesehatan dituliskan berhak mendapatan perlindungan hukum. Akan tetapi pasal tersebut kontradiktif dengan pasal 462 ayat (1) dan ayat (2) UU kesehatan yang menyebutkan bahwa, “Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.” dan, “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.”

Pasal tersebut sebetulnya dapat memberikan dampak positif terhadap perlindungan hukum pasien dan pertanggungjawaban tenaga kesehatan agar tetap profesional apabila melakukan kesalahan, tetapi, pasal tersebut juga dapat menghilangkan hak impunitas profesi kesehatan karena apabila tenaga kesehatan yang telah melakukan tindakan medis sesuai standar prosedur kesehatan akan tetap dapat untuk dituntut dan hal tersebut tentunya membatasi hak tenaga kesehatan untuk dapat dibela.

  • Impor Tenaga Kesehatan Asing : Pasal 230, 235, dan 236 UU Kesehatan

Dalam Pasal 230 UU Kesehatan berkaitan dengan tenaga kesehatan asing yang melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pasal 235 UU Kesehatan disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia. Pasal 236 ayat (1) juga menyebutkan bahwa, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi, dengan ketentuan: terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing; dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.”

Ketiga pasal tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap potensi ancaman peluang kapitalisasi investor terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia. Selain itu, impor tenaga asing juga dapat mengakibatkan perbedaan kompetensi antara tenaga kesehatan warga negara asing dengan tenaga kesehatan warga negara Indonesia.

  • Perubahan Izin Tenaga Kesehatan : Pasal 245-249 UU Kesehatan

Dalam pasal 245 ayat (5) UU Kesehatan menyebutkan perubahan ketentuan baru batas Surat Tanda Registrasi (STR) yang sebelumnya diperpanjang setiap 5 tahun menjadi seumur hidup. Hal tersebut akan mempengaruhi kompetensi dari tenaga kesehatan karena pada dasarnya Surat Tanda Registrasi/STR ini merupakan bukti tertulis tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan. Apabila STR diberlakukan seumur hidup akan menurunkan kualitas kompetensi tenaga kesehatan karena tidak adanya registrasi baru dari tenaga kesehatan.

Pada Pasal 248 ayat (3) dan Pasal 249 UU Kesehatan menyebutkan penghapusan syarat rekomendasi organisasi profesi dalam syarat Surat Izin Praktik (SIP). Penghapusan syarat rekomendasi tersebut akan berimbas pada kualitas dan etika tenaga kesehatan karena penerbitan SIP hanya dibebankan pada Kemenkes atu pemerintah daerah, padahal organisasi profesi kesehatan lebih mengerti terkait kualitas tenaga kesehatannya sendiri.  Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.

  • Marginalisasi Organisasi Profesi : Pasal 314 ayat (2)

Dalam Pasal 314 ayat (2) disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. “Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.” Pasal tersebut dapat memarginalkan organisasi profesi dan dapat mengamputasi peran organisasi profesi.

Namun, dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48. Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan. Itu karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.

  • Penghapusan Mandatory Spending

Penghapusan mandatory spending pada pembahasan UU Kesehatan menjadi polemik yang menambah ketidaksiapan UU Kesehatan ini. Pasalnya, penghapusan mandatory spending yang mana berkaitan dengan kewajiban minimal anggaran kesehatan dalam UU Kesehatan ini dapat berdampak pada ketidakjelasan anggaran seperti pengambilan sumber dana yang nantinya akan diberikan pada sektor pelayanan kesehatan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dihapuskannya mandatory spending dapat menimbulkan penyelewengan tujuan UU Kesehatan yang pada awalnya bertujuan untuk pemerataan akses layanan kesehatan justru dapat menyempitkan distribusi anggaran dana kesehatan pada daerah terpencil. 

UU Kesehatan Untuk Siapa Dan Untuk Apa

Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria menyatakan alasan dari adanya penolakan UU Kesehatan oleh organisasi profesi. Menurutnya, proses penyusunan UU Kesehatan menimbulkan tanda tanya, baik pada kalangan IDI maupun organisasi profesi lainnya, dirinya menambahkan pihak IDI mempertanyakan, apakah draf tersebut merupakan inisiasi pemerintah atau DPR.

Pembelajaran draf oleh IDI terkait pelayanan kesehatan justru menghilangkan unsur-unsur “lex specialis” di dalam Undang-Undang Keprofesian. Draf UU juga memperbarui aturan pembiayaan kesehatan melalui penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). UU Kesehatan mengusung usulan bahwa penetapan anggaran sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pembiayaan kesehatan itu dihapuskan.

Pemerintah berencana menghapuskan satu-satunya unsur peran organisasi profesi. Padahal, Beni menyatakan organisasi profesi berperan dalam perlindungan kepada masyarakat. Maka dari itu, sudah seharusnya pasal guna mempertahankan keberlangsungan dan perlindungan organisasi profesi termuat dalam Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law.

RUU Kesehatan, Cepat Kejar Tenggat? Yakin Sudah Tepat?

(Sumber: Alinea.id)

UU Kesehatan Omnibus Law resmi disahkan pada tanggal 19 Juni 2023 yang mana awal penyusunan UU tersebut telah selesai pada tanggal 14 Februari 2023, selanjutnya pada 9 Maret 2023 Kementerian Kesehatan dan Kementerian terkait lainnya melakukan penyusunan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah). Hal tersebut dilakukan tanpa adanya kolaborasi antara suara masyarakat sebagai tujuan utama dari adanya penerapan UU Kesehatan Omnibus Law dengan organisasi profesi yang menjadi pengelola dan pemerhati masalah kesehatan melalui segala integrasi sistematis tenaga kesehatan, serta penetapan UU yang sangat singkat dalam hal kejar tayang membawa beberapa persoalan tambahan yang belum terselesaikan, antara lain:

1. Penyusunan UU Omnibus Law Kesehatan cacat secara prosedural akibat penyusunannya yang tidak transparan dan tertutup, serta tanpa adanya partisipasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan.

2. Pendidikan kedokteran untuk menciptakan tenaga kesehatan murah bagi industri kesehatan sejalan dengan masifnya investasi.

3. Kekhawatiran bahwa UU Kesehatan justru akan melemahkan perlindungan, serta kepastian hukum para dokter dan tenaga kesehatan.

4. Sentralisme kewenangan Menteri Kesehatan, yaitu penarikan kebijakan oleh Kementerian Kesehatan tanpa melibatkan masyarakat dan organisasi profesi yang berlawanan dengan semangat reformasi.

5. Syarat kriminalisasi terhadap pelanggaran tenaga kesehatan melalui hukuman pidana, berupa kurungan penjara dan denda yang dinaikkan hingga tiga kali lipat.

6. UU Omnibus Law Kesehatan mengancam keselamatan rakyat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki etik, kompetensi, serta moralitas yang tinggi.

7. UU Omnibus Law Kesehatan mempermudah adanya kolaborasi dan akses bagi tenaga kesehatan asing untuk mengintervensi pada pelayanan kesehatan yang berpotensi mengancam keselamatan pasien.

8. UU Omnibus Law Kesehatan lebih cenderung berpihak kepada investor dengan mengabaikan hak-hak masyarakat, hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan, khususnya akan perlindungan hukum dan keselamatan pasien.

9. UU Omnibus Law Kesehatan mengancam ketahanan bangsa serta menghilangkan eksistensi dari peran organisasi profesi yang telah hadir dalam rangka pengabdian untuk rakyat.

10. Melemahkan peran dan independensi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dengan berada dan bertanggung jawab kepada menteri (tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden).

11. Kekurangan sumber daya manusia kesehatan dan permasalahan maldistribusi tenaga kesehatan merupakan bentuk kegagalan pemerintah, serta bukanlah kesalahan organisasi profesi.

12. UU Omnibus Law Kesehatan hanya mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing ke Indonesia tanpa kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. “Rancangan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor… Tentang Kesehatan.” Diakses pada Jumat 7 Juli 2023. https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ruu/detail?param=ruu

Komariyah, F. (2023, Juli Kamis). OP Tegaskan Aksi Tolak RUU Kesehatan yang Terakhir. Retrieved from https://www.rri.go.id/lampung/nasional/253772/op-tegaskan-aksi-tolak-ruu-kesehatan-yang-terakhir.

Lestari, Kintan. “Kenapa RUU Kesehatan Ditolak? Pasal-pasal Kontroversial Ini Penyebabnya.” Diakses pada Jumat 7 Juli 2023.  https://www.beritasatu.com/nasional/1043232/kenapa-ruu-kesehatan-ditolak-pasalpasal-kontroversial-ini-penyebabnya.

UGM. “RUU Kesehatan: Bagaimana Proses Penyusunannya?” Diakses pada Jumat 7 Juli 2023. https://fkkmk.ugm.ac.id/ruu-kesehatan-bagaimana-proses-penyusunannya/#:~:text=Merespon%20paparan%20dari%20dr.%20Mahesa,untuk%20meningkatkan%20status%20kesehatan%20masyarakat.

Pemerintah Indonesia. 2023. Rancangan Undang-Undang Kesehatan Nomor… Tahun… tentang Kesehatan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta. Diakses pada Senin, 10 Juli 2023. https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20230214-012516-3408.pdf.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *