[et_pb_section admin_label=”section”][et_pb_row admin_label=”row”][et_pb_column type=”4_4″][et_pb_text admin_label=”Teks” background_layout=”light” text_orientation=”justified” text_font_size=”16″ use_border_color=”off” border_color=”#ffffff” border_style=”solid”]
Berbagai studi mengenai kepolisian menyebutkan bahwa corak institusi kepolisian bergerak mengikuti corak politik rezim berkuasa pada suatu negara. Hal ini secara empirik terjadi di beberapa negara dan tidak terkecuali Indonesia.
Reformasi 1998 adalah penanda era baru bagi kepolisian. Peralihan corak kekuasaan dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi idealnya mendorong perubahan signifikan terhadap Kepolisian.
Pada fase pertama, kepolisian dipisahkan dari TNI/ABRI dengan tujuan melepas karakter militeristik sekaligus mendorong lahirnya polisi sipil. Pemisahan itu dilegitimasi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.
Selain pendekatan tugas dan fungsi, pertimbangan Ketetapan MPR itu dikeluarkan karena tuntutan reformasi dan tantangan masa depan yaitu demokratisasi (lihat konsideran menimbang huruf a).
Memasuki fase berikutnya dilakukan pergantian undang-undang dari UU No. 28 Tahun 1997 menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Ciri yang kentara dari perubahan undang-undang itu adalah penekanan pada fungsi kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat serta pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Pertimbangan harapan masyarakat akan kepolisian adalah salah satu alasan dibentuknya undang-undang tersebut.
Peralihan dari polisi yang berbasis keamanan menjadi demokratis tidak mudah. Setidaknya itu yang dikatakan Jerome H. Skolnick, penulis Justice Without Trial yang terkenal itu, pada 1999. Benar saja, 17 tahun Reformasi dan 12 kali pergantian Kapolri, jalan reformasi kepolisian masih tertatih-tatih.
“Benar saja, 17 tahun Reformasi dan 12 kali pergantian Kapolri, jalan reformasi kepolisian masih tertatih-tatih”
Oleh karena itu, suksesi Kapolri kali ini seharusnya diletakkan dalam kerangka percepatan reformasi kepolisian.
Polisi Demokratis
Pertanyaan Christopher Stone dan Heather H. Ward (2000) mengajak kita berpikir lebih dalam. Bukankah polisi dalam era demokrasi melakukan hal yang sama dengan polisi di bawah rezim otoritarian?
Polisi melakukan patroli di jalan, mendeteksi kejahatan, menegakkan aturan, menangkap dan memeriksa pelaku kejahatan, mengawasi demonstrasi, dan menggunakan kewenangan dalam menjalankan tugasnya. Lalu apa garis pembedanya?
Pembedanya adalah orientasi pelaksanaan kewenangan. Dengan provokatif RJ Allen (1976) menyebutkan, “Kita tidak mengatakan kepada polisi: Ini masalah, urus. Namun, ini hukum, tegakkan”.
Pembedanya adalah orientasi pelaksanaan kewenangan yang seharusnya lebih dari sekadar menegakkan hukum tetapi juga mendukung demokrasi dengan menjadi polisi demokratis. Polisi memang tidak boleh terjebak dalam agenda demokrasi dalam arti politik tetapi dapat berkontribusi dalam mendorong perkembangan demokrasi dalam arti esensi (David Bayley:2006).
Orientasi kewenangan ibarat bandul yang perlu dijaga keseimbangannya. Polisi adalah organ negara dalam menjalankan hukum sekaligus pelindung warga negara.
Ketika bandul tersebut bergerak ke arah yang berat sebelah, polisi hanya menjadi pelindung kepentingan negara dan bukan warga negara (Kadar:2001, Koszeg: 2001 dalam Mahesh K. Nalla:2009).
Polisi lebih berkepentingan untuk mengeliminasi resistensi terhadap pemerintah daripada kontrol terhadap kejahatan dan pelayan warga negara (Mawby:2001).
Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) pada 2008 menerbitkan Guidebook on Democratic Policing. Setidaknya dokumen ini dapat menjadi rujukan guna merumuskan apa sebenarnya polisi demokratis itu dan bagaimana mewujudkannya.
Polisi demokratis disandarkan pada dua hal: pelaksanaan kewenangan polisi adalah sebagai pelayanan publik dan ketika dilaksanakan harus menjunjung tinggi rule of law.
Legitimasi pelaksanaan tugas Kepolisian diperoleh ketika responsif terhadap kebutuhan dan ekspektasi publik. Pelaksanaan tugas kepolisian yang berarti adalah pelaksanaan otoritas negara dilakukan berdasarkan kepentingan publik.
Dari sini kita bisa melihat bahwa bandul itu (orientasi kewenangan) juga dilaksanakan atas dasar kepentingan dan kebutuhan publik. Kebutuhan dalam konteks ini dalam arti tidak berlebih-lebihan. Jika melewati batas yang terjadi justru rasa tidak aman pada masyarakat.
“Kebutuhan dalam konteks ini dalam arti tidak berlebih-lebihan. Jika melewati batas yang terjadi justru rasa tidak aman pada masyarakat”
Dokumen selanjutnya yang dapat ditelusuri adalah Pedoman UN International Police Task Force (1996). Pedoman itu memperkenalkan tujuh prinsip polisi demokratis pada negara transisi, mulai dari orientasi terhadap prinsip demokrasi, ketaatan pada kode etik untuk meningkatkan kepercayaan publik, perlindungan terhadap hak hidup, pelayanan publik, hingga tidak berlaku diskriminatif dalam pelaksanaan tugas.
Agenda Reformasi Kepolisian
Reformasi kepolisian adalah mengubah karakter kepolisian dari organ ekspresi kekuasaan menjadi organ yang menjamin jalannya demokrasi. Polisi demokratis adalah polisi masyarakat yang melindungi anggota masyarakat (Weisburd dan Braga: 2006) dan organ untuk mendorong transparansi (Sklansky: 2008).
Perlu dirinci lebih lanjut mengenai sasaran terhadap reformasi kepolisian dan bagaimana mencapainya. Perubahan struktural tidak cukup untuk mendorong tercapainya gagasan polisi demokratis.
David Bailey (1997) menegaskan bahwa dalam mendorong reformasi Kepolisian terdapat dua prinsip esensial yang harus disusun, yaitu responsif dan akuntabilitas.
Responsif dalam hal ini adalah responsif terhadap perlindungan masyarakat sama baiknya dengan responsif terhadap kepentingan negara. Sementara itu, akuntabel adalah lebih daripada sekadar mempertanggungjawabkan ketika polisi melanggar hukum dan hak asasi.
Polisi juga harus dapat mempertanggungjawabkan ketika mereka berhasil melindungi publik, merespons kejahatan, dan hasil yang mereka capai dalam menjaga keamanan publik. Akuntabilitas ini disusun melalui multipel mekanisme, yaitu internal control, state control, dan social control.
Dengan demikian, gagasan reformasi kepolisian oleh Kapolri baru Komjen (Pol) Tito Karnavian pada saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR, menanti untuk segera diwujudkan.
Ada harapan agar gagasan reformasi kepolisian tidak menjadi kosmetik dan pesan normatif. Ketika mesin kereta reformasi kepolisian berjalan, tujuannya adalah stasiun polisi demokratis.
“Ketika mesin kereta reformasi kepolisian berjalan, tujuannya adalah stasiun polisi demokratis”
[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]
… [Trackback]
[…] There you will find 77280 additional Information to that Topic: blog.bem-unsoed.com/jalan-panjang-menuju-polisi-demokratis/ […]
… [Trackback]
[…] Find More Information here to that Topic: blog.bem-unsoed.com/jalan-panjang-menuju-polisi-demokratis/ […]