(Sumber : Kementerian Analisi Isu Strategis)

BEM Unsoed – Telah berlangsung diskusi daring yang diadakan oleh BEM Unsoed (28/09) dengan tema “Refleksi Hari Tani Nasional: Subur dan Makmur Di Negeri Agraris Yang Mulai Terkikis” melalui Zoom Meeting. Diskusi ini, menghadirkan beberapa pembicara, yaitu Taufik Basari, selaku anggota komisi III DPR RI, Era Purnama Sari, selaku wakil ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Bivitri Susanti, selaku pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, dan Fakhrul Firdausi, selaku Presiden BEM Unsoed 2021. Acara ini, dimoderatori oleh Muhammad Supendi, selaku staff Kementrian Analisis Isu Strategis BEM Unsoed 2021.

Dalam diskusi ini, kami juga mengundang Prof. Dr. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P. selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI untuk ikut berdiskusi, dan membahas terkait pertanggung jawaban negara terhadap kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang berlum terselesaikan dan perlindungan HAM bagi kebebasan masyarakat di masa kini dan di masa mendatang. Namun, setelah memberikan surat undangan melalui beberapa kontak yang bisa dihubungi beliau tetap tidak hadir dan tidak merespon baik undangan yang diberikan.

(Sumber : Kementerian Analisi Isu Strategis)

Diskusi diawali dengan pemaparan materi oleh Fakhrul Firdausi, mengenai alasan mengapa BEM Unsoed terlibat dalam penuntasan dan mengawali kasus pelanggaran HAM Indonesia yang seolah-olah tidak pernah ada kemajuan, baik dari segi penegakan hukum maupun dari politik kebijakannya.

Fakhrul juga menyampaikan mengenai peran negara yang demokratis dalam menjamin dan melindungi HAM di Indonesia, sedangkan dalam pelaksanaannya negara sekarang cenderung lebih otoriter karena terdapat beberapa indikator seperti merepresi kebebasan, individu harus tunduk kepada kekuasaan, dan memandang kebebasan sebagai ketidak teraturan, serta seluruh penyelnggaraan di kuasai oleh pemerintah secara keseluruhan.  Jika berbicara mengenai masa depan pelanggaran HAM atau penegakan HAM di Indonesia, tidak cukup hanya dengan political will atau politik keberpihakan, tetapi juga harus ada proses dan kebijakan politik yang terjadi.

Diskusi untuk pemaparan materi selanjutnya, dilakukan oleh Ibu Era Purnama Sari, yang menyampaikan mengenai keadilan penanganan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi di Indonesia. Ketidakmampuan pemerintah memberikan keadilan bagi para korban terlihat dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang harus memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang mana seharusnya diutamakan dilihat dalam perspektif korban.  Ibu era, juga mempertanyakan apakah pengadilan menjadi alat impunitas, penegakan hukum mengenai kasus penyelesaian mengenai pelanggaran HAM berat juga sekarang tidak lebih baik atau dikatakan bergerak mundur yang mana dalam Tim Pencari Fakta (TPF) saja orang-orangnya sudah diragukan kapabilitasnya. Serta, beliau menyampaikan bahwa sulitnya mengharapkan penegakan hukum yang independen karena hingga saat ini belum ada Presiden yang baik dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang telag terjadi di Indonesia.

(Sumber : Kementerian Analisis Isu Strategis)

Pemaparan materi pada diskusi yang ketiga, disampaikan oleh Bapak Taufik Basari yang mana menjelaskan mengenai mengapa negara harus bertanggung jawab untuk pelanggaran HAM yang terjadi, dan kenapa jika gagal bisa dapat disebut dengan melakukan praktik impunitas. Lalu, dijelaskan juga mengenai dasar dari HAM yang akan diberikan oleh pemimpin negara yang mana memiliki kekuasaan untuk melindungi hak kebebasan orang-orang yang telah memberikannya kekuasaan. Maka dari itu, negara layak bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, karena amanaha yang dipegang sebagai penguasa merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat, sesuai dengan konsep demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Pemaparan materi diskusi terakhir, disampaikan oleh Ibu Bivitri Susanti, yang membahas mengenai kewajiban negara dalam pelanggaran HAM. Dalam rangka menghadirkan keadilan bagi korban, memberikan fondasi dasar bagi pencapaian hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Bu Bivitri, juga menyampaikan terkait pembahasan pembentukan pengadilan adhoc yang dianggap belum efektif dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia  karena sistemnya yang dipersulit dan terus saja berkutat pada permasalahan yangs seakan tidak ada habisnya. Dan dijelaskan juga mengenai faktor-faktor yang memperlambat penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Diskusi ini, dilaksanakan untuk mengenang dan membahas mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM berat terutama yang terjadi pada bulan September yang belum tuntas diselesaikan oleh negara. Dengan membahas peran negara Indonesia yang berbentuk demokratis ini, seharusnya dijalankan tidak dengan keotoriteran melainkan sesuai dengan asas-asas demokrasi, serta peran dari sosok pemimpin negara melalui kebijakan yang dibuatnya akan melindungan hak dan asasi masyarakatnya, serta memberi pengadilan seadil-adilnya bagi siapa saja yang terkena kasus pelanggaran HAM tanpa syarat dan ketentuan yang membeda-bedakan.


Penulis : Ammatulloh Nur Bhaethy

Bagikan
7 thoughts on “Diskusi Publik “Lampau dan Datang: Penegakan HAM di Indonesia dari Masa ke Masa””
  1. Suami isteri sah kerja di perusahaan yg lokasinya remot area, sehingga kebutuhan biologisnya tidak bisa disalurkan seperti biasanya suami isteri apakah ini termasuk pelanggaran HAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *