Oleh Yoan Puput Ananda (F1F023020), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pertanyaan yang pertama kali terlintas ketika mendengar kata “kekerasan seksual” adalah mengapa hal tersebut menjadi tindakan yang lumrah di zaman sekarang? Belum lagi, tindak kekerasan seksual kini digemari oleh berbagai kalangan. Anak kecil, remaja, dewasa, bahkan lansia pun tidak terlepas dari kasus yang beredar di masyarakat. 

Kita semakin kehilangan ruang untuk bergerak. Mengekspresikan diri lewat busana kini menjadi hal yang menakutkan, bepergian bersama teman lawan jenis dapat menimbulkan rasa cemas, bahkan berlindung pada orang yang lebih tua pun bukan sebuah jaminan. 

Pada akhirnya, kita dituntut untuk hidup dalam ketakutan. Kebebasan dan kenyamanan bukan lagi hal prioritas, melainkan tergantikan oleh kewaspadaan dan kesiagaan. Setiap ruang tak lagi bisa memberi rasa aman yang sebenarnya menjadi hak dasar bagi kita semua. Rasa percaya pun kian memudar, membuat kita bertanya-tanya kepada siapa lagi kita bisa bergantung. 

Kejadian seperti ini tentu tidak hanya mengancam fisik, tetapi juga menghancurkan kesehatan mental secara emosional. Setiap kali mendengar berita atau cerita tentang kekerasan seksual, rasanya ada ketakutan dan amarah yang semakin sulit dibendung. Apalagi ketika korban sering kali disalahkan atau diragukan, muncul perasaan bahwa keadilan memang jauh untuk digapai.

Di tengah situasi ini, saya mulai mempertanyakan kembali. Di manakah peran masyarakat, sistem hukum, dan lembaga yang seharusnya melindungi kita? Mengapa seolah-olah kita dibiarkan berjuang sendirian, terus waspada setiap saat? Jika ini dibiarkan, normalisasi kekerasan seksual akan semakin melekat di masyarakat kita, membuat kita kian terkekang dan kehilangan harapan akan masa depan yang aman.