Oleh: Handika Maulana Alifianto (B1A023038), Fakultas Biologi

Tulisan dibuat sebagai opini dalam pandangan mahasiswa baru, bukan paksaan maupun dorongan mutlak.

“Akar pendidikan memang pahit, tapi buah yang tumbuh darinya akanlah manis.”

– Aristoteles

Pendidikan adalah modal utama pembangunan bangsa, dan merupakan kunci pertama pintu masa depan. Pendidikan adalah hak mutlak semua orang; hak yang wajib dan berhak semua orang dapatkan serta lakukan. Walaupun Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, tetapi realitanya pada saat ini pendidikan masih menjadi masalah penting bagi negara.

Salah satu isu terkini, khususnya di sektor pendidikan tinggi adalah PTN-BH atau Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Status PTN-BH memungkinkan perguruan tinggi untuk mengelola AD/ART nya sendiri, dengan kuasa sebagai badan hukum publik yang otonom. Akan tetapi, setiap kegiatan yang dilakukan tetap diawasi oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tidak mudah menyandang status sebagai PTN-BH, menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 4 tahun 2020, ada lima syarat yang harus dipenuhi sebelum menyandang status PTN BH:

  1. Menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
  2. Tata kelola organisasi PTN yang baik
  3. Memenuhi standar kelayakan finansial 
  4. Menjalankan tanggung jawab sosial (pengabdian pada masyarakat)
  5. Memiliki peran dalam pembangunan perekonomian

Hingga saat ini, baru ada 21 perguruan tinggi negeri yang menyandang status PTN-BH dari jumlah 126 PTN yang ada di Indonesia (ref).

Jikalau ditinjau kembali, beberapa PTN yang ada, dan kini berstatus PTN-BH, masih memiliki permasalahan yang mirip dengan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), seperti permasalahan fasilitas yang kurang memadai, biaya pendidikan yang meninggi, kualitas pembelajaran yang belum sesuai standar internasional, rentannya  sektor keuangan kampus, dan masih buruknya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Hal ini tentu mencoreng nama perguruan tinggi yang menjadi gerbang utama menuju kehidupan yang ‘sebenarnya’, ditambah saat ini Indonesia, sebagaimana dicetuskan pemerintah, berusaha untuk mencapai visi “Indonesia Emas 2045” yang salah satu poinnya adalah (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Jika permasalahan ini saja belum bisa dibenahi dengan semestinya, bagaimana visi tersebut dapat dicapai?

Setelah pembahasan secara umum di atas, sekarang kita ke pembahasan khusus, bagaimana dengan universitas kita; Unsoed?

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) sudah berdiri sejak 1963, menjadikannya salah satu universitas tertua di Pulau Jawa, bahkan Indonesia. Namun, masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan oleh universitas yang menggunakan nama seorang jenderal ini.

Untuk menjadi PTN-BH, sebenarnya Unsoed sudah mencapai beberapa poin dari seluruh kriteria di atas. Dalam penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Unsoed banyak melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, melakukan riset dan pengajaran, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat luas. Akan tetapi, dalam beberapa poin lainnya, keabsahan dan transparansi dari pihak perguruan tinggi masih perlu dipertanyakan. 

Masih banyaknya fasilitas yang kurang memadai dan kurang terawat, seperti beberapa fasilitas yang ada tidak terawat dan tidak digunakan dengan semestinya, banyak bangunan yang sudah tua dan belum adanya pemeliharaan lanjutan, serta perlengkapan penunjang pembelajaran yang belum semuanya lengkap dan berstandar, membuat Unsoed masih perlu berbenah untuk mencapai predikat PTN-BH. Pengelolaan dana yang masih belum transparan, banyaknya laman resmi yang tidak dilakukan peremajaan, self-branding yang belum terlaksana dengan baik, dan pembagian golongan UKT yang belum jelas juga menambah pekerjaan rumah bagi kampus yang termasuk favorit di Indonesia ini.

Akan tetapi, PTN-BH sendiri memang salah satu hal yang layak didapatkan Unsoed. Sebagaimana perguruan tinggi negeri lainnya, PTN-BH selalu diusahakan secepat mungkin didapatkan. PTN-BH sendiri sebenarnya adalah ‘implementasi’ demokrasi untuk kampus dengan mandiri mengelola rumah tangganya sendiri, mengelola kebijakannya sendiri, alias memiliki otonom khusus yang luas. Kampus dapat membuka kerja sama kepada pihak-pihak lain secara bebas dan luas, dan meningkatkan kualitasnya, karena sebenarnya alasan perubahan status itu sendiri adalah untuk meningkatkan kualitas kampus, baik dalam sektor benda maupun tak benda.

Walaupun begitu, dari banyaknya benefit, masih ada dampak negatifnya. Dengan luasnya kebebasan kampus dalam mengurus rumah tangganya sendiri, membuat sektor keuangan kampus rentan disalahgunakan pihak tak bertanggung jawab. Selain itu, peningkatan UKT juga seperti ‘hantu’ yang membayang-bayangi mahasiswa karena apabila kampus berubah menjadi PTN-BH, maka pemerintah pusat akan mengurangi dana subsidi kepada kampus. Status PTN-BH yang tadinya bersifat untuk meningkatkan kualitas kampus, kini berdampak negatif pada masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan pendidikan karena merekalah yang harus membayar UKT tinggi akibat penyesuaian kampus dengan status PTN-BH-nya. 

Perubahan status menjadi PTN-BH adalah sebuah tanggung jawab berat untuk menentukan apakah seseorang adalah seorang sejati yang tegas dalam menyelenggarakan pendidikan, atau sebaliknya? 

Unsoed masih perlu berbenah, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mencapai status PTN-BH. Memang status tersebut adalah hal yang ‘menggiurkan’ untuk didapatkan, dan Unsoed memang berhak mendapatkan itu. Akan tetapi, tidak perlu terburu-buru untuk mendapatkannya, semua pekerjaan rumah yang harus diselesaikan tersebut lebih baik diselesaikan terlebih dahulu, perlahan namun pasti lebih baik daripada terburu-buru tapi tidak pasti.

Sosialisasi tentang PTN-BH juga harus dilakukan pihak yang bersangkutan, agar tidak menimbulkan beda persepsi yang akhirnya malah menjadi kesalahpahaman, dan ujung-ujungnya malah mengganggu kualitas kampus, atau lebih buruknya mencoreng nama baik kampus. Penjelasan yang baik akan membawa pada kesepahaman yang sepakat, antar pihak pengajar dan pihak pelajar, antar pihak kampus dengan pihak mahasiswa, antar pihak perguruan tinggi dengan pihak masyarakat, semua harus disosialisasikan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah.

Jangan sampai hanya karena ingin merubah status kampus, segelintir pihak dirugikan. Memanglah tidak bisa membuat semua pihak senang, tetapi, setidaknya semua pihak dapat diberi penjelasan yang baik, sehingga mereka paham dan mengerti. 

Menjadi seperti sang jenderal yang selalu kita bawa namanya di almamater kita memanglah tidak akan bisa, tetapi kitalah yang harus membuktikan bahwa kemerdekaan yang ia telah perjuangkan mati-matian tidaklah sia-sia.

Tulisan ini dibuat berdasarkan pandangan pribadi penulis sebagai mahasiswa di Universitas Jenderal Soedirman, dan sebagaimana hal tersebut, maka tulisan ini berdasarkan dari apa yang penulis telah lihat, rasa, dan baca. Penulis berhak atas opini pribadi penulis tanpa hasutan dan tekanan dari pihak manapun.
Bagikan
2 thoughts on “PTN-BH Unsoed: Perlu Namun Terburu-buru”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *