Oleh Khazimatul Karimah (F1D023074), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Kekerasan seksual secara umum didefinisikan sebagai tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh maupun fungsi reproduksi seseorang. Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang dapat menyebabkan penderitaan fisik, psikis, gangguan kesehatan reproduksi, atau hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan secara aman dan optimal.
Mengapa pada kalimat terakhir disebutkan “… hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan”? Diketahui bahwa tindakan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di tempat tertutup saja tetapi juga di ruang publik seperti mall, pasar, transportasi umum, kantor, bahkan institusi pendidikan seperti sekolah atau pun perguruan tinggi. Hasil survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 di 29 kota dan 79 kampus membuktikan bahwasanya sebanyak 77% dosen mengaku jika kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Maka dalam tulisan ini akan berfokus pada pembahasan tentang isu kekerasan seksual di perguruan tinggi/kampus sebagai tanggung jawab institusi dalam pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual.
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) melalui Peraturan Rektor Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menjadi bukti nyata komitmen Unsoed dalam menindak tegas kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kampus. Untuk memfasilitasi penanganan kasus kekerasan seksual, Unsoed sendiri membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sebagai upaya penguatan pencegahan kekerasan seksual di kampus, sekaligus menjadi tempat pengaduan korban atau saksi terkait kekerasan seksual yang terjadi.
Meskipun demikian, tak banyak korban kekerasan seksual yang berani speak up tentang apa yang telah menimpa dirinya. Hal ini wajar terjadi karena mereka dibayang-bayangi rasa takut akan asumsi negatif tentang dirinya (victim blaming) dan kemungkinan adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku. Dalam beberapa kasus yang terjadi, relasi kuasa menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, baik itu antara dosen atau tenaga kependidikan dengan mahasiswa maupun kakak tingkat dengan adik tingkatnya. Menurut Muh. Iksan Saputra, dkk., kondisi kampus yang melibatkan interaksi kekuasaan, konstruksi sosial, dan keberadaan target kekuasaan dapat memfasilitasi terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Isu kekerasan seksual di kampus merupakan isu yang cukup kompleks, sebab di luar mekanisme pencegahan dan penanggulangan terdapat sistem birokrasi yang bisa saja menjadi penghalang proses penanganan. Sistem birokrasi yang responsif dan transparan akan mendorong terbentuknya lingkungan kampus yang inklusif dan bebas dari kekerasan seksual. Sementara, birokrasi yang kaku dan berbelit-belit justru dapat menyebabkan korban kekerasan seksual terabaikan dan terhentinya kasus demi menjaga citra baik institusi (Nikmatullah, 2020). Celakanya jika kampus diam dan stakeholders pun ikut diam atas kasus kekerasan seksual yang terjadi, maka tidak hanya hak-hak korban saja yang terabaikan, tetapi juga membiarkan pelaku berkeliaran dan terus mencari mangsa ke sana-sini. Untuk itu, komitmen Satgas PPKS dalam mendampingi, melindungi korban, dan mengawal isu kekerasan sampai tuntas menjadi sangat penting sebagai tugas serta wewenangnya dalam penanganan kekerasan seksual di kampus.